Mercedes-Benz E350e Plug-In Hybrid Review : EQ For Emphasized Quality
Penemu mobil hybrid pertama adalah Porsche, lalu Toyota membawa sistem ini ke lebih banyak tangan dengan menghadirkan Prius. Waktu demi waktu, teknologi hybrid kian maju hingga kini kita sudah bisa mengenal jenis mobil plug-in hybrid. Ini adalah mobil yang mengandalkan 2 mesin, yakni mesin pembakaran dalam dan mesin listrik. Sementara mesin pembakarannya mendapat asupan bensin dengan cara biasa, mesin listriknya punya banyak cara.
Cara pertama adalah dari konversi energi yang dihasilkan mobil, entah itu saat idle,berakselerasi, meluncur atau coasting dan mengerem. Pokoknya saat ada keempat aktivitas itu, sistem akan mengisi daya baterai mobil dari energi yang dibuat oleh aktivitas mobil tadi. Cara kedua adalah mencolokkan charger mobil ke stop kontak untuk diisi aliran listrik dari PLN. Sama seperti smartphone kita, tinggal duduk manis dan tunggu baterainya penuh.
Inilah yang sedikit menggambarkan perkenalan singkat bersama Mercedes-Benz E350e ini. Ia bukan sembarang sedan premium, melainkan sedan premium plug-in hybrid bermesin 2.000 cc 4 silinder turbo bertenaga 211 hp dan torsi 350 Nm yang dibantu oleh 1 motor listrik bertenaga 88 hp dan torsi 440 Nm. Saat digabungkan, output resminya adalah tenaga 286 hp dan torsi 550 Nm. Oh ya, perlu diingat, itu semua tidak salah ketik. Memang menggabungkan tenaga dan torsi mobil hybrid tidak dengan cara asal tambah lalu dapat hasilnya.
Tenaga 286 hp dan torsi 550 Nm konon katanya bisa melarikan mobil ini dari 0-100 dalam 6,2 detik saja, di mana itu sudah masuk teritori mobil sport. Padahal eksterior mobil ini tidak ada aura sport sama sekali. Desain cantik E-Class sukses menyembunyikan fakta kalau mobil ini punya potensi untuk mempermalukan akselerasi mobil sport. Oh ya, untuk varian E350e ini, ada sedikit pembeda kecil untuk menegaskan kalau ia adalah versi plug-in hybrid. Anehnya, biarpun tenaga dan torsinya jelas lebih besar daripada E300, Mercedes-Benz E300 juga diklaim bisa lari dari 0-100 juga dalam 6,2 detik. Itu klaim Mercedes lho ya.
Dari lampu depannya, ada alis biru di dalamnya yang bisa kelihatan jika diteliti dari dekat. Kaliper rem depan berwarna biru dan emblem “EQ Power” adalah pembeda lain dari samping. Kalau dari belakang, emblem “E350e” dan adanya penutup port chargerbaterai di bumper belakang adalah penanda final di eksteriornya. Jika anda penasaran, Mercedes-Benz E350e Plug-In Hybrid yang kami coba ini adalah spek Malaysia.
Menaikkan ground clearance? Iya, E350e ini sudah pakai suspensi udara, sebuah peningkatan spek dari suspensi adaptif milik E300. Jika kita mengisi daya dengan Wallbox dari Mercedes-Benz, baterai mobil ini bisa terisi dari kosong hingga penuh dalam 1,5 jam saja. Jika pakai aliran listrik PLN biasa, paling tidak perlu 2 hingga 3,5 jam. Baterai 6,2 kWh-nya terletak di belakang mobil, dan adanya baterai di belakang rupanya merampok ruang bagasi dan menambah bobot mobil.
Ah sudahlah. Untuk rute dari Fairmont ke pintu tol, kami diminta menggunakan mode E-Mode alias pakai tenaga baterai saja. Nah, ini yang memang kami cari, jadi kami pakai E-Mode dan injak gas pelan-pelan. Hening. Tenang. Senyap. Tak ada suara mesin tapi mobil berjalan. Lucu juga sensasi kala jarum takometer tetap di angka 0 tapi spidometer menunjukkan 40 km/jam. Dengan tenaga baterai saja, kecepatan maksimum yang bisa dicapai adalah 130 km/jam.
Untungnya, energi baterai hanya terbuang saat mobil digas. Saat mobil melakukan deselerasi atau pengereman, energi kinetik dari putaran roda dan rem langsung dipakai untuk mengisi baterai. Suspensi udara E350e benar-benar terasa beda, lebih empuk saat harus melewati jalan keriting atau polisi tidur. Penambahan bobot yang membuat sedan ini jadi memiliki berat hingga 1,7 ton pun tidak begitu berasa berkat torsi motor listrik yang besar.
Performa Mercedes-Benz E350e ini di tol tak jauh berbeda dengan E300. Torsi dan tenaganya selalu cukup dan kompeten, girboks 9 percepatan bawaannya pun selalu sigap dan cekatan saat kita kickdown, namun masih halus dan anteng. Di mode Comfort, bantingan empuknya tetap juara dan bobot setirnya tergolong ringan. Setirnya memang jadi berat di tol dan akurasinya bagus, namun feedback memang minim. Bagaimana kalau dipindah dari Comfort ke Sport+?
Meski tidak sehening E-Mode karena mesin bensinnya nyala, mobil ini tetap menawarkan peredaman suara yang mumpuni. Kalau boleh jujur, kami sedikit ngantuk saat duduk di bangku belakang saking tenangnya mobil ini, namun untung suara musik bisa menghibur. Kembali ke E350e, saat kami sudah mencapai di Bintaro, kami pindah dari mode Charge ke Hybrid, dan baterai yang tadinya 28% sekarang sudah 50% lebih.
Skema aliran energi dari mesin bensin dan mesin listrik ke roda bisa dipantau lewat info Energy Flow di panel instrumen. Di bawah takometer pun ada indikator E-Drive dan Charge, di mana pointer akan condong ke E-Drive saat motor listrik terpakai dan makin condong ke Charge saat mesin bensin terpakai atau kita mengerem atau berdeselerasi. Sungguh, mobil hybrid akan terasa lebih sederhana kala kita sudah mencobanya.
Sebelum ini, mobil hybrid terakhir yang kami bawa adalah Honda Freed Hybrid di Jepang, dan ia punya transisi penggunaan mesin yang halus saat memutuskan pindah dari motor listrik ke mesin bensin. Kami bisa menebak kalau si E350e ini bakal lebih halus lagi, dan memang begitulah adanya. Oh ya, saat di mode Hybrid atau E-Mode, mobil akan terasa ngerem meski kita melepas gas tanpa menginjak pedal rem, ini adalah efek dari sistem regenerasi energi bawaannya.
Dengan membuat lampu rem E350e nyala saat kita lepas gas, aspek keselamatan jadi membaik karena mobil di belakang E350e bakal lebih waspada, mengingat mobil ini bisa berhenti lebih cepat dibanding E300. Tentu saja kalau kita injak pedal rem, remnya akan menyala lebih terang. Selepas dari tol Bintaro ke BSD, kami diminta untuk mencoba mode E-Save. Nah, mode E-Save ini mirip mode power saving di smartphonekita.
Dengan mencoba mobil ini dari Jakarta ke Tangerang, apa berarti rasa penasaran kami terbayarkan? Well, tidak juga. Kami sempat bertanya bagaimana jika mobil ini harus diderek karena suatu hal? Pihak Mercedes-Benz bilang mobil ini bisa diderek, dengan syarat roda belakang tidak boleh menyentuh jalanan. Itu karena E350e ini RWD, jadi roda belakangnya tidak boleh menempel ke jalan saat diderek. Kalau mobil ini AWD, keempat rodanya tidak boleh nempel ke jalan saat diderek.
Pertanyaan berikutnya adalah, dengan sistem hybrid yang memberikan mobil efisiensi lebih, kesenyapan ekstra dan dorongan spontan dari mesin listrik, siapa yang akan menikmatinya lebih total? Pengemudi atau penumpang? Sebagai penumpang, mobil ini memberikan kesenyapan ekstra sehingga mobil jadi lebih rileks dan nyaman, bahkan bisa sampai ngantuk. Sebagai pengemudi, kita dapat tenaga lebih besar, jambakan ganas dari torsi 550 Nm dan kebebasan memilih antara mode mesin bensin, listrik atau kombinasi keduanya.
Pindah ke mode Hybrid pun, mobil ini terasa rileks dan tenang meski kita sedang memacunya di atas 120 km/jam. Torsi ekstra yang ada di tiap injakan gas pun tidak membuat kita terasa seperti ditendang, lebih terasa seperti didorong berkat refinement E350e yang bagus. Memang nyaman jadi penumpang di sini, tapi kalau mau menang banyak dengan mobil ini, jadilah pengemudi. Kalau mau menang banyak dengan menjadi penumpang, lebih baik langsung ke Mercedes Benz S-Class, BMW 7-Series, Audi A8 atau Lexus LS.
Masalah harga, Mercedes-Benz belum tahu soal banderol yang cocok bagi E350e ini. Tentu saja menunggu keputusan pemerintah tentang Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) yang diharapkan bisa memberikan keringanan pajak bagi mobil ramah lingkungan seperti hybrid, mobil listrik dan hidrogen. Sebenarnya semua merek mobil mulai dari Nissan sampai Porsche punya mobil bertenaga alternatif yang bisa jadi masa depan, masalahnya kondisi di dalam negeri masih belum ramah bagi mobil seperti itu.
Jangan lupa juga jika semua itu dibungkus dengan desain E-Class yang cantik, namun khusus E350e, ia punya sisi elegan yang kian tegas berkat gril dan pelek barunya. Sistem hybrid-nya tidak banyak membantu di jalan tol, sebab ia hanya menopang kala mobil butuh dorongan torsi. Lain cerita kalau di dalam kota, sebab adanya hybrid bisa membuat E350e menjadi sedan eksekutif yang paling membuai soal kenyamanan dan efisiensi.
Bahkan di setelah Sport + sekalipun, mobil ini masih kalem. Se-sporty-sporty-nya sebuah Mercedes-Benz E-Class, kami merasa mobil ini masih belum menawarkan sensasi fun yang sama seperti rivalnya. Jadi jelas, Mercedes-Benz E350e ini adalah buat mereka yang mendambakan mobil yang mewah, nyaman, halus dan sangat rileks buat dikendarai, khususnya buat perjalanan jauh.
Sumber:autonetmagz.com
Tidak ada komentar: